STAI Miftahul Huda Subang

Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
SINERGISITAS NILAI MUHAMMADIYAH DAN NAHDLATUL ULAMA SEBAGAI ‘ROLE MODEL’ UMAT ISLAM DI DUNIA

Pendahuluan

Ali bin Abi Thalib berkata bahwa kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Perkataan Ali bin Abi Thalib tersebut hendaknya selalu dipegang teguh olah umat Islam, khususnya dalam praksis berorganisasi. Terkait dengan masalah organisasi ini,  umat Islam di Indonesia telah mendirikan berbagai macam organisasi Islam yang berbeda dengan coraknya masing-masing. Dua diantara organisasi Islam terbesar di Indonesia adalah Nahdlatul Ulama (disingkat NU) dan Muhammadiyah.

Umat Islam di dunia  pada saat sekarang masih memiliki banyak problem dan tantangan yang harus dihadapi dan dipecahkan bersama. Mulai dari masalah perang saudara, rendahnya tingkat pendidikan, ketertinggalan teknologi, soal kualitas sumber daya manusia yang rendah, dan setumpuk permasalahan lainnya. Islam sebagai agama yang sempurna tentunya memiliki modal untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Tidak terkecuali dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebagai dua  organisasi  Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia harus melakukan sinergisitas nilai yang dimilikinya agar mampu memecahkan masalah-masalah dan tantangan tersebut, dan akhirnya menjadi ‘role model’ umat Islam di dunia.

Pembahasan

NU  dibentuk sebagai respons dari pembentukan organisasi Islam sebelumnya yaitu Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam). Muhammadiyah dibentuk dalam rangka untuk memurnikan kembali praktek keagamaan umat Islam di Indonesia kepada sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Muhammadiyah memandang masih banyak umat Islam Indonesia yang masih terbelit oleh praktek-praktek animisme, dinamisme, klenik, numerologi dan lain sebagainya (lihat misalnya: Geertz, 2014 dan Koentjaraningrat 1984), yang dulu dikenal dengan singkatan TBC atau takhayul, bidah dan churafat (baca: khurafat) (Wildan, 2000). Pada saat yang bersamaan, Muhammadiyah juga menyasar praktek-praktek tradisi Islam lokal yang sejak lama dipraktekkan oleh kalangan yang tergolong ke dalam ciri khas NU. Sehingga akhirnya ulama-ulama dari kalangan tradisional membentuk organisasi NU untuk meng-counter Muhammadiyah dan organisasi Islam lainnya yang sejenis.

NU dan Muhammadiyah ini  seolah-olah bertentangan, tetapi kalau ditelaah lebih jauh sebenarnya tidak, terlebih kedua pendiri organisasi tersebut, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan memiliki satu guru yang sama, yaitu Kiai Soleh Darat. Bahkan kiai NU, KH. Musthofa Bisri pun berkata bahwa orang Muhammadiyah yang sudah dalam ilmunya maka dia akan menyerupai orang NU, sebaliknya orang NU yang sudah dalam ilmunya maka dia akan menyerupai orang Muhammadiyah. Pada tulisan ini, penulis tidak akan membahas pertentangan diantara NU dan Muhammadiyah, karena hal itu sudah lewat, sudah usang, sudah tidak relevan lagi pada masa sekarang. Penulis hanya akan berfokus pada nilai-nilai dari kedua organisasi Islam ini yang bisa dijadikan contoh bagi umat Islam di Indonesia bahkan di dunia. Nilai-nilai yang melekat pada kedua organisasi ini adalah nilai tradisional pada NU dan nilai modernitas pada Muhammadiyah. Penggabungan nilai-nilai tradisional dan modern inilah yang akan menjadi landasan pembentukan “role model” umat Islam di dunia

NU  merupakan organisasi Islam tradisional,  tetapi tradisional–dalamnhal ini tradisi–itu tidak harus selalu bertentangan dengan modernitas. Sebagai contoh dulu bangsa sumeria ketika ingin memindahkan benda berat mereka menggunakan kayu panjang lonjong/bulat, sekarang kendaraan bermotor jika ingin bergerak menggunakan roda ban. Antara kayu panjang lonjong/bulat dengan roda ban memiliki esensi yang sama yaitu sifatnya bulat. Sifat yang bulat dari benda ini akhirnya menjadi hukum dalam membantu meringankan pergerakan benda. Esensi atau hukumnya tidak berubah tapi cangkangnya saja yang berubah ( Madjid, 2008).

Dalam memahami realitas sosial pun hendaknya demikian, agama diharapkan menafsir realitas sosial secara lebih terbuka, agar wahyu Tuhan tidak terus melangit sehingga enggan membumi. Esensi dari NU mempraktekkan Islam lokal adalah agar wahyu menjadi lebih membumi, lebih memanusia dan lebih merealitas. Sementara itu Muhammadiyah sendiri  sebenarnya lahir sebagai filter terhadap praktek tradisi Islam lokal. Pada titik ini sebenarnya antara NU dan Muhammadiyah tidak ada pertentangan sama sekali, karena filter utama dari kedua organisasi tersebut sebenarnya sama yaitu tauhidullah. Jadi sebenarnya, baik NU maupun Muhammadiyah akan memfilter tradisi tradisi atau kepercayaan lokal yang bertentangan dengan tauhidullah. Jika ada praktek tradisi lokal atau kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka baik NU maupun Muhammadiyah pasti akan melarangnya. Kalau pada akhirnya nya masih ada tradisi lokal yang dipraktekkan oleh kalangan NU, tentu saja itu hasil penafsiran ulama NU bahwa tradisi Islam lokal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Namun demikian justru ada femoma menarik  belakangan ini, bahwa ada orang-orang muhamadiyah yang mempraktekkan tradisi Islam lokal layaknya orang NU, sehingga ada sebutan “MuNu” atau Muhammadiyah-NU (Mulkhan, 2001; 2005).

Nilai tradisional yang mengajak Islam tampil lebih membumi adalah kekuatan NU, hal ini akan berakibat kepada kreativitas umat Islam untuk mengambangkan kebudayaan dan peradaban. Islam akan nampak menjadi lembut, damai, ramah, toleran dan inklusif di tengah-tengah masyarakat. Dengan cara inilah Islam akan mengakar jauh lebih kuat di dalam masyarakat. Nilai tradisional dari NU ini akan semakin mendapatkan kekuatan ketika disinergikan dengan nilai modernitas dari Muhammadiyah. Nilai modernitas dari Muhammadiyah akan memberikan satu koridor agar umat Islam menjadi rasional, dan rasionalitas adalah syarat kemajuan suatu bangsa. Dalam hal ini, Madjid mengemukakan idenya–yang kebetulan banyak ditentang oleh cendikiawan muslim yang lain–yaitu sekularisasi. Tanpa memperdebatkan lagi terminologi sekularisasinya, makna dari sekularisasi yang disodorkan oleh Madjid tersebut adalah suatu proses pemisahan antara yang profan dan yang sakral. Pada masyarakat Indonesia–termasuk di dalamnya umat Islam–masih banyak yang mempercayai benda atau tempat bertuah atau magis, dalam sekularisasi, benda-benda merupakan hal yang profan dan tidak ada kaitannya dengan magis. Hal-hal seperti inilah yang justru akan menghambat kemajuan dan kemodernan umat Islam di Indonesia.

Penutup

Sinergisitas nilai yang dibangun  antara NU dan Muhammadiyah inilah yang akan menjadi “role model” umat Islam di Indonesia bahkan di dunia, yaitu terciptanya umat Islam yang lembut, damai, ramah, toleran, inklusif, berbudaya, berperadaban sekaligus rasional dan modern di atas nilai-nilai tauhidullah.

Daftar Pustaka

Geertz, Clifford. Agama Jawa (Abangan, Santri dan Priyayi dalam Budaya Jawa). Depok: Komunitas Bambu (2014)

Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka (1984)

Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Gramedia (2019)

Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan dan keindonesiaan. Bandung: Mizan (2008)

Mulkhan, Abdul Munir. Islam Petani. Yogyakarta. Bentang (2001)

Mulkhan, Abdul Munir. Islam Sejati: Kiai Ahmad Dahlan & Petani Muhammadiyah. Jakarta: Serambi (2005)

Wildan, Dadan. Pasang Surut Gerakan Islam di Indonesia (Potret Perjalanan Sejarah Organisasi Persatuan Islam, Persis. Bandung. Persis Press (2000)

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on print
Print
Berita Lainnya :
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x